(REVISI) MAKALAH
AL-FARABI
TEORI EMANASI DAN KENABIAN
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah :
Sejarah Pemikiran Islam
Dosen Pengampu :
Dr. Muniron, M. Ag
Disusun Oleh :
Muhamim Sarifudin
PROGRAM
PASCASARJANA
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM TRIBAKTI (IAIT KEDIRI 2017)
BAB
I
- Pendahuluan
Setiap agama samawi yahudi, kristen, dan
islam secara esensial berdasarkan pada wahyu dan ilham. Dari wahyu dan ilhamlah
agama langit lahir, dan karena kmu’jizatannya agama ini menang serta mampu
bertahan sepanjang masa. Sosok nabi tidaklah lain hanyalah seorang yang
dianugerahi kemampuan untuk berhubungan dengan Allah dan mengekpresikan
kehendakNya di muka bumi. Inilah barangkali puncak kistimewaannya.
Seorang Nabi tidak bermimpi keculai
hanya waktu subuh tiba, tidak melihat suatu kebaikan kecuali turun dari yang
maha bijaksana lagi maha terpuji, dan tidak pula memutuskan kecuali seizin
kehendakNya.
Dengan demikian kewajiban bagi umat
islam untuk memberikan penghormatan yang tertinggi kepada kenabian dengan
argumentasi-argumentasi yang sesuai dengan dengan kapasitas ruhaniyah,
intelektual, intuisi masing-masing yang kemudian dapat diterima penduduk bumi,
dan sekalian membatah segala bentuk pengingkaran dari kalangan dalam,maupun
dari luar islam sendiri.
- Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
teori emanasi al-Farabi
2. Bagaimana
teori Falsafah Kenabian al-Farabi
BAB II
- Al-Farabi
dan Corak Pemikirannya
1. Biografi al-Farabi.
Nama lengkap alFarabi adalah Abu
Muhammad ibn Muhammad Ibn Tharkan Ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij distrik Farab
(sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana) Turkinistan pada tahun 257 H /
870 M. Ayahnya seorang jenderal berkebangsaan Persia, dan ibunya berkebangsaan
Turki[1].
Dikalangan orang-orang latin abad tengah, al-Farabi lebih dikenal sebagai Abu
Nasrh (Abunaser), sedangkan sebutan nama al-Farabi diambil dari nama kota Farab
tempat dia dilahirkan[2]
Untuk memulai karir dalam
pengetahuannya, ia hijrah dari negerinya ke kota Bagdad yang pada waktu itu
disebut sebagai kota ilmu pengetahuan. Dia belajar selama kurang lebih dua
puluh tahun. Ia benar-benar memanfaatkan untuk menimba ilmu pengetahuan kepada
Ibnu Suraj untuk belajar bahasa Arab, dan kepada Abu Bakar Yunus untuk belajar
ilmu Mantiq (logika).
Setelah dari Baghdad al-Farabi pergi ke
Harran sebagai salah satu pusatkebudayaan Yunani di Asia Kecil. Disana ia
berguru kepada Yohana Ibnu Hailan. Akan tetapi tidak lama kemudian ia
meninggalkan kota tersebutdan kembali ke kota Baghdad. Disini dia kembali
mendalami filsafat sehingga ia mampu mencapai ahli ilmu Mantiq (logika),
kemudian ia mendapatkan predikat Guru Kedua, maksudnya ia adalah orang
yang pertama kali memasukan ilmu logika ke dalam kebudayaan Arab. Keahlian ini
rupanya yang dialami Aristoteles sebagai Guru Pertama, yang mana sebagai
orang yang pertama menemukan ilmu Logika.
Pada tahun 350 H./ 941 M, al-Farabi
pindah ke Damsyik dan menetap di kota ini. Kedudukan al-Farabi sangat
diperhatikan secara baik oleh Saif al-Dullah, Kholifah dinastio Hamdan di
Allepo (Hallab).
2. Teori Emanasi al-Farabi
Emanasi ialah teori tentang keluarnya
sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang
mesti adanya; Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan
wujud”. Menurut al-Farabi, Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa benda[3].
Teori
ini erat kaitannya dengan teori wujud (eksistensi), yang oleh al-Farabi dibagi
menjadi dua;
1) Wujud yang mungkin ada
karena lainnya (mumkin al-Wujub). Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada
kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurt tabi’atnya bisa wujud
dan bisa pula tidak. Karena matahari telah wujud, maka cahaya itu menjadi wujud
disebabkan wujudnya matahari. Wujud yang mungkin ini menjuadi bukti adanya
sebab yang pertama, karena segala yang mungkin harus berakhirpada suatu wujud
yang nyata dan pertama kali ada.
2)
Wujud yang ada dengan sendirinya ( wajib
al-wujud). Wujud ini adalah wujud yang tabi’atnya itu sendiri menghendaki
wujudnya. Kalau ia tidak ada, maka yang lainpun tidak akan ada sama sekali, ia
adalah sebab pertama bagi semua wujud yang ada. Dan wujud yang wajib ada inilah
Tuhan
Berdasrkan teori ini al-farabi berpendirian, bahwa
seluruh yang ada (maujud) tidak terlepas dari keadaan wajibul wujud atau mumkin
wujud. Yang mumkinul wujud lahir karena ada sebab, sedangkan yang wajibul wujud
adalah ada dengan tidak bersebab, ia memiliki Zat yang Agung dan sempurna, ia
memiliki kesanggupan mencipta dalam keseluruhan sejak azali[4].
Sesuai
dengan Firman Allah dalam Q.S. Yasin ayat 82:
!$yJ¯RÎ)
ÿ¼çnãøBr&
!#sÎ)
y#ur&
$º«øx©
br&
tAqà)t
¼çms9
`ä.
ãbqä3usù
ÇÑËÈ
Artinya:“Sesungguhnya
keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:
"Jadilah!" Maka terjadilah ia”. (Q.S. Yasin ayat 82)
Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal,
berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain.
Tuhan merupakan wujud pertama (al wujudul awwal) dan dengan pemikirannya itu
timbul wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut
akal pertama (al aklu awwal) yang tidak bersifat materi. Sedangkan wujud kedua
berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga
(wujudul tsalis) disebut Akal Kedua (al aklu tsani).
Lebih lanjut, urutan-urutan emanasi al-‘Aqil
itu dapat digambarkan sebagai berikut :
1) Wujud II atau Akal
Pertama itu juga berpikir tentang dirinya hingga timbullah Langit Pertama
(al-Asmaul awwal),
2) Wujud III / Akal kedua
menimbulkan Wujud IV/Akal Ketiga yakni bintang-bintang),
3) Wujud IV/Akal Ketiga
menimbulkan Wujud V/Akal Keempat, yakni Planet Saturnus
4) Wujud V/Akal Keempat
menimbulkan Wujud VI/Akal Kelima, yakni Planet Jupiter,
5) Wujud VI/Akal Kelima
menimbulkan Wujud VII/Akal Keenam, yakni Planet Mars,
6) Wujud VII/Akal Keenam
menimbulkan Wujud VIII/Akal Ketujuh, yakni Matahari,
7) Wujud VIII/Akal
Ketujuh menimbulkan Wujud IX/Akal Kedelapan,yakni Planet Venus,
8) Wujud IX/Akal
Kedelapan menimbulkan Wujud X/Akal Kesembilan, yakni Planet Mercurius,
9) Wujud X/Akal
Kesembilan menimbulkan Wujud XI/Akal Kesepuluh, yakni Bulan.
Wujud yang dimaksud adalah Wujud Tuhan. Pada
pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya
akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi
yang menjadi dasar dari keempat unsur, yaitu api, udara, air, dan tanah.
Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah akal dibataskan
kepada bilangan sepuluh. Hal ini disesuaikan dengan bilangan bintang yang
berjumlah sembilan. Selain itu, ditiap-tiap akal diperlukan satu planet pula,
kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet ketika keluar dari
Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9 (sembilan). )? Karena
jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah
al-Farabi menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauh dan
bintang-bintang tetap.
Ia menyatakan bahwa jumlah akal ada sepuluh,
sembilan di antaranya untuk mengurus benda-benda langit yang sembilan,
sedangkan akal kesepuluh yaitu akal bulan yang mengawasi dan mengurusi
kehidupan dibumi.
3.
Falsafah
Kenabian
Filsafat ke-Nabian dalam pemikiran al-Farabi
erat hubungannya pada agama. Agama yang dimaksud adalah agama Samawi (langit).
Dalam agama Islam Nabi adalah manusia seperti manusia lainnya. Akan tetapi Nabi
diberi kelebihan oleh Allah akan kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki
oleh manusia lainnya. Maka dalam agama Islam, seorang Nabi adalah utusan Allah
yang mengemban tugas keagamaan. Nabi adalah utusan Allah yang diberikan
Al-Kitab yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan
oleh Nabi yang berasal dari Allah adalah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar
dari nafsunya sendiri. Allah berfirman pada Q.S an-An-Najm ayat 3-5 :
$tBur
ß,ÏÜZt
Ç`tã
#uqolù;$#
ÇÌÈ ÷bÎ)
uqèd
wÎ)
ÖÓórur
4Óyrqã
ÇÍÈ ¼çmuH©>tã
ßÏx©
3uqà)ø9$#
ÇÎÈ
3.
dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
4. ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
5. yang diajarkan kepadanya oleh
(Jibril) yang sangat kuat.
Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan
eksistensi para Nabi yang mempunyai jiwa besar, dan membawa
pencerahan-pencerahan serta mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi dengan
akal fa’al. Sebab lahirnya filsafat ke-Nabian ini disebabkan adanya
pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian secara filosofis oleh Ahmad Ibnu
Ishaq Al-Ruwandi. Ia adalah seorang tokoh yahudi yang membuat karya-karya
tentang keingkaran kepada Nabi dan Umumnya pada Nabi Muhammad SAW.
Khususnya kritiknya ini dapat
dideksripsikan sebagai berikut:
1)
Nabi sebenarnya tidak
diperlukan manusia, karena Tuhan telah mengaruniakan akal kepada manusia tanpa
terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nyadan
dapat pula mengetahui perbuatan baikm dan buruk.
2)
Ajaran agama meracuni
prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya thawaf di
Ka’bah, dan sa’i di Bukit Shafa dan Marwah dengan tempat-tempat
lain.
3)
Mukjizat hanya semacam
cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia.
4)
Al-Qur’an bukanlah
Mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa (Al-khawariqal-adat). Orang
yang non Arab jelas saja heran dengan balaghah Al-Quran, karena mereka tidak kenal
dan memgerti Bahsa Arab dan Muhammad adalah kabilah yang paling fasahah dikalangan
orang Arab[5].
Dalam suasana yang demikian, Al-Farabi
merasa terpanggil untuk menjawab tantangan tersebut. Karena kenabian adalah asa
sentral dalam agama, apabila ia telah batal, maka akibatnya membawa kebatalan
pada agama itu sendiri.
Al-farabi adalah filosof muslim pertama
yang mengemukakan filsafat kenabian secara lengkap, sehingga hampir
tidak ada penambahan oelh filosof-filosof sesudahnya. Filsafatnya ini
didasarkan pada psikologi dan metafisika yang erat hubungannya denga ilmu
politik dan etika.
Menurut Al-Farabi, manusia dapat
berhubungan dengan akal fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran atau
renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama hanya
dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan dapt
mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh
nabi.
Telah dimaklumi bahwa ilham-ilham
kenabian adakalanya terjadi waktu tidur dan waktu bangun. Dengan kata lain,
dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan keduanya hanya terletak
pada tingkatannya dan tidak mengenai esensinya. Mimoi yang benar tidak lain
adalah satu tanda dari tanda kenabian.
Menurut Al-Farabi, bila kekuatan
imajinasi pada seseorang kuat sekali, oobjek indrawi dari luar tidak akan dapat
mempengaruhinya sehingga ia dapar berhubungan dengan akal fa’al. Apabila
kekuatan imajinasinya telah mencapai taraf kesempurnaan, tidak ada halangan
bainya menerima peristiwa-peristiwa sekarang atau mendatang dari Akal Fa’al
pada waktu bangun. Dengan adanya penerimaan demikian maka ia dapatnubuwwat terhadap
perkara-perkara ketuhanan.
Jadi, ciri khas seorang nabi oleh
Al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan
dengan Aka; Fa’al ia dapat menerima visi dan kebenara-kebenaran dalam bentuk
wahyu. Wahyutidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (Akal
kesepuluh) yang dalam penjelasan Al-Farabi adalah Malaikat Jibril. Sementara
itu filosof dapat berkomnikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah
terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkapn hal-hal yang
bersifat abstrak murni dari akal kesepuluh.
Sampai di sini terkesan bahwa kenabian
telah menjadi suatu yang dapat diusahakan (muktasabat). Akan tetapi,
jika diamati secaa cermat; kesan ini meleset sama sekali. Hal ini disebabkan
nabi adalah pilihan Allah dan komunikasinya dengan Allah bukan melalui Akal
mustafad, tetapi melalui akal dalam derajad materiil. Seorang nabi dianugrahi
Allah akal yang mempunyai daya tangkap yang luas biasa sehingga tanpa latihan
dapat mengadakan komunikasi langsung dengan akal kesepuluh (Jibril). Akal ini
mempunyai kekuatan suci (qudsiyyat) dan di beri nama hads. Tidak
ada akal yang lebih kuat daripada demikian dan hanya nabi-nabi yang memperoleh
akal seperti itu. Sementara itu, filosof dapat berhubungan dengan akal
kesepuluh adalah usaha sendiri, melalui latihan dan pemikiran. Seorang filosof
hanya memiliki akal mustafad (perolehan) lebih rendah dari pada nabi yang
mempunyai akal meteriil dan hads. Oleh karena itu, setiap nabi adalah filosof
dan tidak semua filosof itu nabi. Akan tetapi, filosof tidak bisa menjadi nabi,
yang selamanya ia (nabi) tetap manusia Allah.
Dari sisi pengetahuan dan sumbernya, seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, antara filosof dan nabi terdapat kesamaan.
Oleh karena itu, Al-Farabi menekankan bahwa kebenaran wahyu tidak bertentangan
dengan pengetahuan filsafat sebab antara keduanya sama-sama mendapatkan dari
sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril). Demikian pula dengan mukjizat
sebagai bukti kenabian, menurut Al-Farabi, dapat terjadi dan tidak bertentangan
dengan hukum alam karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari
Akal kesepuluh sebagai pengatur dunia ini.
Dari uraian di atas telihat keberhasilan
Al-Farabi dalam menjelaskan kenabian secara filosofis dan menafsirkannya secara
ilmiah yang dapat dikatakan tiada duanya, terutama di “pentas” filsafat Islam[6].
Selanjtnya Akal dalam pemikiran filsafat al-Farabi menempati
tempat istimewa sebagai pangkal epistemologinya, termasuk filsafat metafisika
yang berhubungan dengan penciptaan. Konsep akal ini erat kaitannya dengan teori
kenabian, di mana akal Nabi mampu berhubungan dengan akal ke sepuluh untuk
mendapatkan gambaran ‘ada’ dari yang abstrak berupa pengetahuan. Secara garis
besarnya akal menurut al-Farabi dibagi menjadi dua yaitu :
1)
akal
praktis yang berfungsi menyelesaikan hal hal tekhnis dan keterampilan,
2)
akal
teoritis yang membantu jiwa mendapatkan inspirasi atau ilham,
Dari akal teoritis tersebut ia mampu menangkap konsep yang tak bermateri (akal
actual), kemampuan akal aktual ini dalam menangkap obyek-obyek yang
abstrak semata mata hanya dimiliki oleh orang orang tertentu, termasuk di
dalamnya adalah Nabi dan Filosof, atau disebut dengan akal intelektual[7].
Melalui akal
intelektual, manusia bisa mencerap hal-hal abstrak yang sama sekali tidak
berhubungan dengan materi, bagi seorang Nabi dengan akal intelektual akal mustafadh,
seorang Nabi bisa menerima kode atau isyarat wahyu. Sedangkan
upaya filosof untuk berkomunikasi dengan akal fa’al melalui akal
intelektual dapat dicapai melalui jalan kontemplasi dan perenungan atau melalui
kegiatan berfikir mendalam terhadap sesuatu. Akal inilah yang nantinya akan
menjadi modal bagi kita untuk memahami konsep kenabian (nubuwwah)
al-Farabi. Secara bahasa, wahyu berasal dari kata waha, yahyi, wahyan yang
berarti samar atau rahasia adalah pemberitahuan dari Allah secara cepat dan
samar disertai dengan keyakinan yang penuh. Baik dengan perantara maupun tidak,
denga suara maupun langsung dihujamkan ke dalam hati. Wahyu dituangkan oleh
Tuhan secara langsung kepada Nabi pilihannya, bukan berdasarkan keinginannya
sendiri. Sehingga tidak diketahui oleh manusia, wahyu merupakan bisikan Tuhan
kepada Nabinya sebagai pengetahuan yang cepat dan sangat halus yang muncul
dengan sendirinya tanpa harus berijtihad.
Para nabi diberi
kemampuan akal mustafadh untuk mencercap isyarat wahyu dalam bentuk
kemampuan akal intelek berkomunikasi dengan aql fa’al sehingga kebenaran
yang dihasilkan wahyu adalah kebenaran yang pasti bukan kebenaran nisbi.
Kemampuan istimewa untuk berkomunikasi dengan aql fa’al ini bersifat given
dari Allah. Menurut Amin Abdullah, pembahasan filsafat kenabian dalam
filsafat Islam merupakan pembahasan yang khas, tidak ditemui di dalam filsafat
Yunani secara detail.
Konsep kenabian
al-Farabi ada kaitan erat dengan politik pada waktu itu, di mana ia berpendapat
bahwa pemimpin yang ideal adalah para Nabi atau Filosof, karena ia mempunyai
kedekatan dan mampu berhubungan dengan akal fa’al, yang merupakan sumber
kebaikan. Pemimpin ideal seperti yang digagas oleh al-Farabi memang jauh dari
fakta yang terjadi, sehingga sangat sulit untuk direalisasikan, setidaknya
dengan konsep ini memberikan bekal dalam memilih seorang pemimpin
4.
Kesimpulan
Pertalian
pemikiran al-Farabi sangat erat dengan filsafat Yunani, Oleh karena itu untuk
memahami pokok pikiran al-Farabi mutlak dibutuhkan menyelami pemikiran filsafat
Yunani. Al-Farabi adalah sosok filosof muslim yang pengetahuannya mapan, di
samping ilmuwan juga ‘alim.
Al-Farabi
berpendapat bahwa penciptaan alam ini terjadi secara emanasi atau pancaran
Tuhan (al faidh al ilahiy) melalui daya akal yang tunggal dan esa,
kekal, abadi yang disebut akal murni, kemudian menjadi alam raya yang beraneka ragam,
proses emanasi berhenti pada akal ke sepuluh yang dinamai akal fa’al, pada akal
ke sepuluh ini tidak lagi ber-emanasi karena daya kekuatan akalnya melemah.
Dari akal kesepuluh ini melahirkan materi, seperti air, api, udara, tanah
kemudian diikuti berbagai unsur lainnya. Pada konsep emanasi ini, nampak sekali
pengaruh filsafat neo-platonisme.
Bagi al-Farabi,
baik Nabi, Filosof dan Raja adalah satu kesatuan makna, namun berbeda
pendekatannya. Nabi adalah orang suci yang terpilih untuk menerima titah
kebenaran berupa wahyu, sedangkan filosof melalui logika berpikirnya dapat
mencapai sebuah kebenaran yang hakiki.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Hanafi, Pengantar Filsafat
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991
Atjeh, Abu Bakar, Sejarah Filsafat
Islam, Semarang: CV. Ramadhani, 1970
Mulyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung: CV.
Pustaka setia, 2010.
Nasutuion,
Harun, Islam Rasional: Gagasan danPemikiran HarunNasution Bandung:
Mizan, 2000
[1] Dedi Mulyadi, Pengantar
Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka setia, 2010), hlm 80.
[2] Ibid.
[3] Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1991) hlm. 92
[4] Atjeh, Abu Bakar, Sejarah Filsafat Islam, (Semarang: CV.
Ramadhani, 1970), hlm. 49
[5] H. sirajudin , 2012, “filsafat
Islam”, (Jakarta: PT Rajagrapindo Persada). Hal 78-79
[6] Ibid, hlm. 79-81.
[7] Harun
Nasutuion, Islam Rasional: Gagasan danPemikiran HarunNasution (Bandung:
Mizan, 2000 ), hlm.43-45.
No comments:
Post a Comment