Pages

Tuesday, October 24, 2017

Al-Farabi Teori Emanasi dan Kenabian

(REVISI) MAKALAH
AL-FARABI
TEORI EMANASI DAN KENABIAN
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah :
Sejarah Pemikiran Islam
Dosen Pengampu :
Dr. Muniron, M. Ag

Disusun Oleh :
Muhamim Sarifudin


PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM TRIBAKTI (IAIT KEDIRI 2017)

BAB I
  1. Pendahuluan
Setiap agama samawi yahudi, kristen, dan islam secara esensial berdasarkan pada wahyu dan ilham. Dari wahyu dan ilhamlah agama langit lahir, dan karena kmu’jizatannya agama ini menang serta mampu bertahan sepanjang masa. Sosok nabi tidaklah lain hanyalah seorang yang dianugerahi kemampuan untuk berhubungan dengan Allah dan mengekpresikan kehendakNya di muka bumi. Inilah barangkali puncak kistimewaannya.
Seorang Nabi tidak bermimpi keculai hanya waktu subuh tiba, tidak melihat suatu kebaikan kecuali turun dari yang maha bijaksana lagi maha terpuji, dan tidak pula memutuskan kecuali seizin kehendakNya.
Dengan demikian kewajiban bagi umat islam untuk memberikan penghormatan yang tertinggi kepada kenabian dengan argumentasi-argumentasi yang sesuai dengan dengan kapasitas ruhaniyah, intelektual, intuisi masing-masing yang kemudian dapat diterima penduduk bumi, dan sekalian membatah segala bentuk pengingkaran dari kalangan dalam,maupun dari luar islam sendiri.
  1. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana teori emanasi al-Farabi
2.      Bagaimana teori Falsafah Kenabian al-Farabi




BAB II
  1. Al-Farabi dan Corak Pemikirannya
1.      Biografi al-Farabi.
Nama lengkap alFarabi adalah Abu Muhammad ibn Muhammad Ibn Tharkan Ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana) Turkinistan pada tahun 257 H / 870 M. Ayahnya seorang jenderal berkebangsaan Persia, dan ibunya berkebangsaan Turki[1]. Dikalangan orang-orang latin abad tengah, al-Farabi lebih dikenal sebagai Abu Nasrh (Abunaser), sedangkan sebutan nama al-Farabi diambil dari nama kota Farab tempat dia dilahirkan[2]
Untuk memulai karir dalam pengetahuannya, ia hijrah dari negerinya ke kota Bagdad yang pada waktu itu disebut sebagai kota ilmu pengetahuan. Dia belajar selama kurang lebih dua puluh tahun. Ia benar-benar memanfaatkan untuk menimba ilmu pengetahuan kepada Ibnu Suraj untuk belajar bahasa Arab, dan kepada Abu Bakar Yunus untuk belajar ilmu Mantiq (logika).
Setelah dari Baghdad al-Farabi pergi ke Harran sebagai salah satu pusatkebudayaan Yunani di Asia Kecil. Disana ia berguru kepada Yohana Ibnu Hailan. Akan tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan kota tersebutdan kembali ke kota Baghdad. Disini dia kembali mendalami filsafat sehingga ia mampu mencapai ahli ilmu Mantiq (logika), kemudian ia mendapatkan predikat Guru Kedua, maksudnya ia adalah orang yang pertama kali memasukan ilmu logika ke dalam kebudayaan Arab. Keahlian ini rupanya yang dialami Aristoteles sebagai Guru Pertama, yang mana sebagai orang yang pertama menemukan ilmu Logika.
Pada tahun 350 H./ 941 M, al-Farabi pindah ke Damsyik dan menetap di kota ini. Kedudukan al-Farabi sangat diperhatikan secara baik oleh Saif al-Dullah, Kholifah dinastio Hamdan di Allepo (Hallab).
2.      Teori Emanasi al-Farabi
Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”. Menurut al-Farabi, Tuhan adalah pikiran yang bukan berupa benda[3].
 Teori ini erat kaitannya dengan teori wujud (eksistensi), yang oleh al-Farabi dibagi menjadi dua;
1)      Wujud yang mungkin ada karena lainnya (mumkin al-Wujub). Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurt tabi’atnya bisa wujud dan bisa pula tidak. Karena matahari telah wujud, maka cahaya itu menjadi wujud disebabkan wujudnya matahari. Wujud yang mungkin ini menjuadi bukti adanya sebab yang pertama, karena segala yang mungkin harus berakhirpada suatu wujud yang nyata dan pertama kali ada.
2)      Wujud yang ada dengan sendirinya ( wajib al-wujud). Wujud ini adalah wujud yang tabi’atnya itu sendiri menghendaki wujudnya. Kalau ia tidak ada, maka yang lainpun tidak akan ada sama sekali, ia adalah sebab pertama bagi semua wujud yang ada. Dan wujud yang wajib ada inilah Tuhan
Berdasrkan teori ini al-farabi berpendirian, bahwa seluruh yang ada (maujud) tidak terlepas dari keadaan wajibul wujud atau mumkin wujud. Yang mumkinul wujud lahir karena ada sebab, sedangkan yang wajibul wujud adalah ada dengan tidak bersebab, ia memiliki Zat yang Agung dan sempurna, ia memiliki kesanggupan mencipta dalam keseluruhan sejak azali[4].
Sesuai dengan Firman Allah dalam Q.S. Yasin ayat 82:
!$yJ¯RÎ) ÿ¼çnãøBr& !#sŒÎ) yŠ#ur& $º«øx© br& tAqà)tƒ ¼çms9 `ä. ãbqä3uŠsù ÇÑËÈ  
Artinya:“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia”. (Q.S. Yasin ayat 82)
Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al wujudul awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama (al aklu awwal) yang tidak bersifat materi. Sedangkan wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga (wujudul tsalis) disebut Akal Kedua (al aklu tsani).
Lebih lanjut, urutan-urutan emanasi al-‘Aqil itu dapat digambarkan sebagai berikut :
1)      Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya hingga timbullah Langit Pertama (al-Asmaul awwal),
2)      Wujud III / Akal kedua menimbulkan Wujud IV/Akal Ketiga yakni bintang-bintang),
3)      Wujud IV/Akal Ketiga menimbulkan Wujud V/Akal Keempat, yakni Planet Saturnus
4)      Wujud V/Akal Keempat menimbulkan Wujud VI/Akal Kelima, yakni Planet Jupiter,
5)      Wujud VI/Akal Kelima menimbulkan Wujud VII/Akal Keenam, yakni Planet Mars,
6)      Wujud VII/Akal Keenam menimbulkan Wujud VIII/Akal Ketujuh, yakni Matahari,
7)      Wujud VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud IX/Akal Kedelapan,yakni Planet Venus,
8)      Wujud IX/Akal Kedelapan menimbulkan Wujud X/Akal Kesembilan, yakni Planet Mercurius,
9)      Wujud X/Akal Kesembilan menimbulkan Wujud XI/Akal Kesepuluh, yakni Bulan.
Wujud yang dimaksud adalah Wujud Tuhan. Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi yang menjadi dasar dari keempat unsur, yaitu api, udara, air, dan tanah.
Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah akal dibataskan kepada bilangan sepuluh. Hal ini disesuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah sembilan. Selain itu, ditiap-tiap akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet ketika keluar dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9 (sembilan). )? Karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah al-Farabi menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauh dan bintang-bintang tetap.
Ia menyatakan bahwa jumlah akal ada sepuluh, sembilan di antaranya untuk mengurus benda-benda langit yang sembilan, sedangkan akal kesepuluh yaitu akal bulan yang mengawasi dan mengurusi kehidupan dibumi.
3.      Falsafah Kenabian
Filsafat ke-Nabian dalam pemikiran al-Farabi erat hubungannya pada agama. Agama yang dimaksud adalah agama Samawi (langit). Dalam agama Islam Nabi adalah manusia seperti manusia lainnya. Akan tetapi Nabi diberi kelebihan oleh Allah akan kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Maka dalam agama Islam, seorang Nabi adalah utusan Allah yang mengemban tugas keagamaan. Nabi adalah utusan Allah yang diberikan Al-Kitab yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan oleh Nabi yang berasal dari Allah adalah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari nafsunya sendiri. Allah berfirman pada Q.S an-An-Najm ayat 3-5 :
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ   ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ   ¼çmuH©>tã ߃Ïx© 3uqà)ø9$# ÇÎÈ  
3. dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
4. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
5. yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.


Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi yang mempunyai jiwa besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi dengan akal fa’al. Sebab lahirnya filsafat ke-Nabian ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian secara filosofis oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi. Ia adalah seorang tokoh yahudi yang membuat karya-karya tentang keingkaran kepada Nabi dan Umumnya pada Nabi Muhammad SAW.
Khususnya kritiknya ini dapat dideksripsikan sebagai berikut:
1)        Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia, karena Tuhan telah mengaruniakan akal kepada manusia tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nyadan dapat pula mengetahui perbuatan baikm dan buruk.
2)        Ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya thawaf di Ka’bah, dan sa’i di Bukit Shafa dan Marwah dengan tempat-tempat lain.
3)        Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia.
4)        Al-Qur’an bukanlah Mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa (Al-khawariqal-adat). Orang yang non Arab jelas saja heran dengan balaghah Al-Quran, karena mereka tidak kenal dan memgerti Bahsa Arab dan Muhammad adalah kabilah yang paling fasahah dikalangan orang Arab[5].
Dalam suasana yang demikian, Al-Farabi merasa terpanggil untuk menjawab tantangan tersebut. Karena kenabian adalah asa sentral dalam agama, apabila ia telah batal, maka akibatnya membawa kebatalan pada agama itu sendiri.
Al-farabi adalah filosof muslim pertama yang mengemukakan filsafat  kenabian secara lengkap, sehingga hampir tidak ada penambahan oelh filosof-filosof sesudahnya. Filsafatnya ini didasarkan pada psikologi dan metafisika yang erat hubungannya denga ilmu politik dan etika.
Menurut Al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan akal fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan dapt mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.
Telah dimaklumi bahwa ilham-ilham kenabian adakalanya terjadi waktu tidur dan waktu bangun. Dengan kata lain, dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan keduanya hanya terletak pada tingkatannya dan tidak mengenai esensinya. Mimoi yang benar tidak lain adalah satu tanda dari tanda kenabian.
Menurut Al-Farabi, bila kekuatan imajinasi pada seseorang kuat sekali, oobjek indrawi dari luar tidak akan dapat mempengaruhinya sehingga ia dapar berhubungan dengan akal fa’al. Apabila kekuatan imajinasinya telah mencapai taraf kesempurnaan, tidak ada halangan bainya menerima peristiwa-peristiwa sekarang atau mendatang dari Akal Fa’al pada waktu bangun. Dengan adanya penerimaan demikian maka ia dapatnubuwwat terhadap perkara-perkara ketuhanan.
Jadi, ciri khas seorang nabi oleh Al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan Aka; Fa’al ia dapat menerima visi dan kebenara-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyutidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (Akal kesepuluh) yang dalam penjelasan Al-Farabi adalah Malaikat Jibril. Sementara itu filosof dapat berkomnikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkapn hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal kesepuluh.
Sampai di sini terkesan bahwa kenabian telah menjadi suatu yang dapat diusahakan (muktasabat). Akan tetapi, jika diamati secaa cermat; kesan ini meleset sama sekali. Hal ini disebabkan nabi adalah pilihan Allah dan komunikasinya dengan Allah bukan melalui Akal mustafad, tetapi melalui akal dalam derajad materiil. Seorang nabi dianugrahi Allah akal yang mempunyai daya tangkap yang luas biasa sehingga tanpa latihan dapat mengadakan komunikasi langsung dengan akal kesepuluh (Jibril). Akal ini mempunyai kekuatan suci (qudsiyyat) dan di beri nama hads.  Tidak ada akal yang lebih kuat daripada demikian dan hanya nabi-nabi yang memperoleh akal seperti itu. Sementara itu, filosof dapat berhubungan dengan akal kesepuluh adalah usaha sendiri, melalui latihan dan pemikiran. Seorang filosof hanya memiliki akal mustafad (perolehan) lebih rendah dari pada nabi yang mempunyai akal meteriil dan hads. Oleh karena itu, setiap nabi adalah filosof dan tidak semua filosof itu nabi. Akan tetapi, filosof tidak bisa menjadi nabi, yang selamanya ia (nabi) tetap manusia Allah.
Dari sisi pengetahuan dan sumbernya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, antara filosof dan nabi terdapat kesamaan. Oleh karena itu, Al-Farabi menekankan bahwa kebenaran wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat sebab antara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril). Demikian pula dengan mukjizat sebagai bukti kenabian, menurut Al-Farabi, dapat terjadi dan tidak bertentangan dengan hukum alam karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari Akal kesepuluh sebagai pengatur dunia ini.
Dari uraian di atas telihat keberhasilan Al-Farabi dalam menjelaskan kenabian secara filosofis dan menafsirkannya secara ilmiah yang dapat dikatakan tiada duanya, terutama di “pentas” filsafat Islam[6].
Selanjtnya Akal dalam pemikiran filsafat al-Farabi menempati tempat istimewa sebagai pangkal epistemologinya, termasuk filsafat metafisika yang berhubungan dengan penciptaan. Konsep akal ini erat kaitannya dengan teori kenabian, di mana akal Nabi mampu berhubungan dengan akal ke sepuluh untuk mendapatkan gambaran ‘ada’ dari yang abstrak berupa pengetahuan. Secara garis besarnya akal menurut al-Farabi dibagi menjadi dua yaitu :
1)        akal praktis yang berfungsi menyelesaikan hal hal tekhnis dan keterampilan,
2)        akal teoritis yang membantu jiwa mendapatkan inspirasi atau ilham,
Dari akal teoritis tersebut ia mampu menangkap konsep yang tak bermateri (akal actual), kemampuan akal aktual ini dalam menangkap obyek-obyek yang abstrak semata mata hanya dimiliki oleh orang orang tertentu, termasuk di dalamnya adalah Nabi dan Filosof, atau disebut dengan akal intelektual[7].
Melalui akal intelektual, manusia bisa mencerap hal-hal abstrak yang sama sekali tidak berhubungan dengan materi, bagi seorang Nabi dengan akal intelektual akal mustafadh, seorang Nabi bisa menerima kode atau isyarat wahyu. Sedangkan upaya filosof untuk berkomunikasi dengan akal fa’al melalui akal intelektual dapat dicapai melalui jalan kontemplasi dan perenungan atau melalui kegiatan berfikir mendalam terhadap sesuatu. Akal inilah yang nantinya akan menjadi modal bagi kita untuk memahami konsep kenabian (nubuwwah) al-Farabi. Secara bahasa, wahyu berasal dari kata waha, yahyi, wahyan yang berarti samar atau rahasia adalah pemberitahuan dari Allah secara cepat dan samar disertai dengan keyakinan yang penuh. Baik dengan perantara maupun tidak, denga suara maupun langsung dihujamkan ke dalam hati. Wahyu dituangkan oleh Tuhan secara langsung kepada Nabi pilihannya, bukan berdasarkan keinginannya sendiri. Sehingga tidak diketahui oleh manusia, wahyu merupakan bisikan Tuhan kepada Nabinya sebagai pengetahuan yang cepat dan sangat halus yang muncul dengan sendirinya tanpa harus berijtihad.
Para nabi diberi kemampuan akal mustafadh untuk mencercap isyarat wahyu dalam bentuk kemampuan akal intelek berkomunikasi dengan aql fa’al sehingga kebenaran yang dihasilkan wahyu adalah kebenaran yang pasti bukan kebenaran nisbi. Kemampuan istimewa untuk berkomunikasi dengan aql fa’al ini bersifat given dari Allah. Menurut Amin Abdullah, pembahasan filsafat kenabian dalam filsafat Islam merupakan pembahasan yang khas, tidak ditemui di dalam filsafat Yunani secara detail.
Konsep kenabian al-Farabi ada kaitan erat dengan politik pada waktu itu, di mana ia berpendapat bahwa pemimpin yang ideal adalah para Nabi atau Filosof, karena ia mempunyai kedekatan dan mampu berhubungan dengan akal fa’al, yang merupakan sumber kebaikan. Pemimpin ideal seperti yang digagas oleh al-Farabi memang jauh dari fakta yang terjadi, sehingga sangat sulit untuk direalisasikan, setidaknya dengan konsep ini memberikan bekal dalam memilih seorang pemimpin



4.      Kesimpulan
Pertalian pemikiran al-Farabi sangat erat dengan filsafat Yunani, Oleh karena itu untuk memahami pokok pikiran al-Farabi mutlak dibutuhkan menyelami pemikiran filsafat Yunani. Al-Farabi adalah sosok filosof muslim yang pengetahuannya mapan, di samping ilmuwan juga ‘alim.
Al-Farabi berpendapat bahwa penciptaan alam ini terjadi secara emanasi atau pancaran Tuhan (al faidh al ilahiy) melalui daya akal yang tunggal dan esa, kekal, abadi yang disebut akal murni, kemudian menjadi alam raya yang beraneka ragam, proses emanasi berhenti pada akal ke sepuluh yang dinamai akal fa’al, pada akal ke sepuluh ini tidak lagi ber-emanasi karena daya kekuatan akalnya melemah. Dari akal kesepuluh ini melahirkan materi, seperti air, api, udara, tanah kemudian diikuti berbagai unsur lainnya. Pada konsep emanasi ini, nampak sekali pengaruh filsafat neo-platonisme.
Bagi al-Farabi, baik Nabi, Filosof dan Raja adalah satu kesatuan makna, namun berbeda pendekatannya. Nabi adalah orang suci yang terpilih untuk menerima titah kebenaran berupa wahyu, sedangkan filosof melalui logika berpikirnya dapat mencapai sebuah kebenaran yang hakiki.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991

Atjeh, Abu Bakar, Sejarah Filsafat Islam, Semarang: CV. Ramadhani, 1970

Mulyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka setia, 2010.

Nasutuion, Harun, Islam Rasional: Gagasan danPemikiran HarunNasution Bandung: Mizan, 2000




[1] Dedi Mulyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka setia, 2010), hlm 80.
[2] Ibid.
[3] Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991) hlm. 92
[4] Atjeh, Abu Bakar, Sejarah Filsafat Islam, (Semarang: CV. Ramadhani, 1970), hlm. 49
[5] H. sirajudin , 2012, “filsafat Islam”, (Jakarta: PT Rajagrapindo Persada). Hal 78-79
[6] Ibid, hlm. 79-81.
[7] Harun Nasutuion, Islam Rasional: Gagasan danPemikiran HarunNasution (Bandung: Mizan, 2000 ), hlm.43-45.


No comments:

Post a Comment