A. Imam Asy-Syafi'i dan Pemikirannya
- Perjalanan Hidup Imam asy-Syāfi'i
Imām al-Syāfi’i sebagai pendiri mazhab Syafi’i nama
lengkapnya Muhammad bin Idris al-Syafi’i al-Quraisyi. Dilahirkan di desa Gazah
Palestina pada tahun 150 H / 767 M. Dan ia wafat di Mesir pada tahun 204 H /
819 M. Silsilah ia dengan Nabi Muhammad bertemu pada datuk mereka, Abdul
al-Manaf. Jelasnya adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas ibn ‘Abbas ibn
‘Usman Ibn Syāfi’i ibn al-Syu’aib ibn ‘Ubaid ibn Ali Yazid ibn Hasyim ibn
Mutalib ibn Abdul al-Manaf datuk Nabi Muhammad
S.A.W.[1]
Syafi’i ibn as-Syua’ib adalah yang menjadi nisbat
al-Syafi’i Ibnu al-Syua’ib bertemu Nabi pada masa kecilnya dan ayahnya masuk
Islam pada saat perang Badar.[2]
Jadi Imam al-Syafi’i adalah keturunan Quraisy, tetapi ibunya bukan dari
keturunan Quraisy tetapi berasal dari suku ‘Ad (dari Yaman), bukan keturunan
‘Alawiyyah.[3]
Sejak dilahirkan Imām al-Syāfi’i sudah menjadi
yatim, pengasuhan dan bimbingan waktu
kecil adalah di bawah sang ibu. Sejak kecil Imam al-Syafi'i sudah menampakkan
kecintaan dan kecerdasannya. Hal ini terlihat dengan kemampuannya menghafal
al-Qur’an sejak usia 7 tahun, proses belajar pertama ia pergi ke daerah Huzail
(pedalaman) yang mana merupakan tempat orang-orang yang paling ahli dalam
bahasa Arab. Imām al-Syāfi’i menimba ilmu dengan berbagai guru, baik yang
berkaitan dengan syi’ir-syi’ir, tata bahasa maupun sastra-sastra Arab. Maka tak
heran dia sangat ahli dalam kebahasaan ‘Arab.[4]
Ketika umur Imām al-Syāfi’i mencapai 2 tahun, ibunya
membawa ke Hijaz dan keqabilahnya yaitu penduduk Yaman, karena ibunya Fatimah
merupakan keturunan dari suku Azdiyah dan tinggal di suku tersebut. Akan tetapi
ketika umurnya mendekati usia 10 tahun, ibunya khawatir kalau nasab anaknya
yang mulia dari suku Quraisy akan dilupakan dan dihilangkannya, sehingga ibunya
membawa al-Syafi’i ke Mekkah. Perpindahan ini dilatarbelakangi oleh beberapa
hal yaitu:
1.
Mekkah adalah tanah kelahiran bapak dan nenek moyang
Imam al-Syafi’i. Maka ibunya ingin anaknya dibesarkan diantara keluarga ayahnya
yang mempunyai kedudukan sosial yang terpandang dan mendapat berbagai fasilitas
dari Bait al-Mal, karena administrasi pemerintahan pada waktu itu memang menyediakan
tunjangan khusus bagi segenap anggota keluarga Quraisy dari keturunan Hasyim
dan Mutalib yaitu keluarga dekat Nabi s.a.w.
2.
Karena kota
Mekkah merupakan tempat ‘ulama, fuqaha’, syu’ara dan udaba’ sehingga Imām
al-Syāfi’i dapat berkembang dalam bahasa Arab yang murni dan mengambil
cabang-cabang keilmuan yang dikehendaki. Walaupun Yaman dan Palestina itu lebih
utama bagi ibunya karena daerah kaumnya yaitu Azdiyah.[5]
2. Pendidikan, Pengembaraan dan Karirnya
Imām
al-Syāfi’i memulai kegiatannya menuntut ilmu sejak masa kecilya di Mekkah.
Walaupun ia dibesarkan sebagai anak yatim piatu dalam asuhan ibunya serta hidup
dalam kekurangan dan kesempitan, akan tetapi semangat untuk menuntut ilmunya
tidak pudar. Si ibu, Fatimah, mengirimkan al-Syafi’i untuk belajar ke Kuttab
(semacam taman kanak-kanak). Dengan kemaunnya yang keras dan dorongan dari
ibunya, ia mendatangi para ulama dan menulis apa yang bermanfaat mengenai
hal-hal yang penting.[6]
Dari
pengembaraan ilmiah yang telah dilakukan Imām al-Syāfi’i dapat mengenal
berbagai macam ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ‘ulama’, mulai
pemikiran ‘ulama’ yang didasarkan pada hadis maupun ra’yu, tetapi ia banyak
dipengaruhi oleh corak pemikiran Irak yang dijadikan dasar pengembangan
mazhabnya pertama kali di Mekkah, yaitu dengan mengaktifkan kembali halaqah di
Masjid al-Haram.[7]
Untuk
pendalaman hadis Imām al-Syāfi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik bin Anas. Ia
mampu menyelesaikan pendidikan dengan baik, hal ini dibuktikan dengan kemampuan
menghafal kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik yang dibaca dengan di depan
sang guru, hal ini membuat kekaguman tersendiri bagi Imam Malik.[8]
Karena
merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, Imam al-Syafi’i kemudian pergi ke Irak, untuk memperdalam lagi ilmu
fiqh, kepada para murid Imam Abu Hanifah yang masih ada, dalam perantauannya
tersebut, ia sempat mengunjungi Persia dan beberapa tempat lain.[9]
Pada waktu itu ia menyusun kitab usul fiqh yang pertama dalam Islam yaitu “al-Risalah”.
Sebagai
pecinta ilmu, Imām al-Syāfi’i mempunyai banyak guru, begitu banyaknya guru Imam
Syafi’i sehingga Imam ibn Hajar al-Asqalani menyusun satu buku khusus yang
bernama Tawali al-Tasib yang di dalamnya disebut nama-nama ‘ulama’ yang
pernah menjadi guru Imam Syafi’i, antara lain: Imam Muslim bin Kholid, Imam
Ibrahim in Sa’id, Imam Sufyan bin Uyainah, Imam Malik bin Anas, Imam Ibrahim
bin Muhammad, Imam Yahya bin Hasan, Imam Waqi’, Imam Fudail bin Iyad.[10]
Aktivitas
dibidang pendidikan dimulai dengan mengajar di Madinah dan menjadi asisten Imam
Malik. Waktu itu usianya sekitar 29 tahun. Sebagai ‘ulama’ fiqh namanya mulai
dikenal, muridnya pun berdatangan dari berbagai penjuru wilayah Islam. Selain
sebagai ulama fiqh iapun dikenal sebagai ‘ulama' ahli hadis, tafsir, bahasa dan
sastra Arab, ilmu falak, ilmu usul dan ilmu tarikh.[11]
Imām
al-Syāfi’i digelari Nasir al-Sunnah artinya pembela Sunnah atau Hadis.
Karena sangat menjunjung tinggi Sunnah Nabi Muhammad s.a.w. Sebagaimana ia
sangat memuliakan para ahli hadis.
‘Ulama’ besar Abdul Halim al-Jundi, menulis buku dengan judul, al-Imām
al-Syāfi’i, Nasir al-Sunnah wa wadi’ al-Usul. Di dalamnya diuraikan secara
rinci bagaimana sikap dan pembelaan Imām al-Syāfi’i terhadap Sunnah. Intinya
adalah bahwa Imām al-Syāfi’i sangat mengutamakan Sunnah Nabi s.a.w. dalam
melandasi pendapat-pendapat dan ijtihadnya. Karena itu ia sangat berhati-hati
dalam menggunakan qiyas.
Menurut
al-Imām al-Syāfi’i, qiyas hanya dapat digunakan dalam keadaan terpaksa yaitu
dalam masalah mu’amalah (kemasyarakatan) yang tidak didapati nasnya secara
pasti dan jelas di dalam al-Qur'an atau Hadis sahih atau tidak dijumpai dalam
ijma’ sahabat. Qiyas sama sekali tidak dibenarkan dalam urusan ibadah. Dalam penggunaan
qiyas, Imām al-Syāfi’i menegaskan bahwa harus diperhatikan nas-nas al-Qur’an
dan Sunnah yang telah ada.[12]
Imām
al-Syāfi’i tinggal di Baghdad selama 2 tahun, atas wewenang yang telah
diberikan kepadanya oleh sang guru Muslim bin Khalid, seorang ‘ulama’ besar
yang menjadi mufti di Mekkah. Ia mengeluarkan fatwa-fatwa selama tinggal di Baghdad,
pendapat-pendapat Imām al-Syāfi’i yang difatwakan tersebut dinamakan dengan qaul
qadim. Ketika itu pengaruh mazhab Syafi’i mulai tersebar luas dikalangan
masyarakat, kemudian untuk sementara waktu dia terpaksa pergi meninggalkan Baghdad menuju Makkah untuk memenuhi
panggilan hati yang masih haus ilmu
pengetahuan.[13]
Pada tahun
198 H. Imam al-Syafi`i kembali ke Baghdad
untuk merawat dan mengembangkan benih-benih mazhab yang telah ditebarkan, pada
saat itulah pengaruhnya mengalami perkembangan pesat. Hampir tidak ada lapisan
masyarakat Baghdad yang tidak tersentuh oleh roda pemikirannya, dan diantara
pilar-pilar pendukung mazhab Syafi’i yang masyhur adalah Ahmad bin Hambal
(pendiri mazhab Hambali) al-Zafarani, Abu Sur, al-Karabisi, 4 orang inilah yang
tercatat sebagai periwayat qaul qadim yang tertuang dalam kitab
al-Hujjah.[14]
Kemudian
Imam al-Syafi’i merasa terpanggil untuk memperluas lagi mazhabnya,[15]
dengan berbekal semangat dan tekad dia mengembara ke negeri Mesir, disana Imām
al-Syāfi’i meneliti dan menelaah lebih dalam lagi ketetapan fatwa-fatwa ia
selama di Baghdad,
kemudian muncullah rumusan-rumusan baru yang kemudian terkenal dengan istilah qaul
jadid yang tertulis dalam kitab al-Umm, al-Imla, Mukhtasar
Muzanni dan al-Buwaiti. Diantara pendukung dan periwayat qaul
jadid yang terkenal adalah: al-Buwaiti, al-Rabi’ al-Jaizi, al-Muradi,
al-Harmalah dan ‘Abdullah bin al-Zubair al-Makki.[16]
3. Guru dan Muridnya
Imam al-Syafi’i pada masa mudanya, waktunya
dihabiskan untuk menuntut ilmu pengetahuan di markas-markas ilmu pengetahuan,
seperti di kota
Mekkah, Madinah, Kufah, Syam dan Mesir. Ia mengembara dari satu tempat ke
tempat lain untuk mempelajari ilmu tafsir, fiqh, hadis kepada guru-guru yang
banyak tersebar di berbagai pelosok negerinya.
Guru-gurunya
yang masyhur antara lain:
1.
di Mekkah
a.
Muslim bin Khalid al-Zanji
b.
Ismail bin Qastantin
c.
Sufyan bin Uyainah
d.
Sa’ad bin Abi Salim al-Qaddah
e.
Dawud bin Abd. al-Rahman al-Atur
f.
Abd. al-Hamid bin abd. Aziz
2. di Madinah
a.
Imam Malik bin Anas
b.
Ibrahin bin Sa’ad al-Ansari
c.
Abd. al-Azzi bin Muhammad al-Darudi
d.
Ibrahim bin Abi Yahya al-Aswamiy
e.
Muhammad bin Sa’id
f.
Abdullah bin Nafi’
3.
di Yaman
a.
Matraf bin Mazin
b.
Hisyam bin Abu Yusuf
c.
‘Umar bin Abi Salamah
d.
Yahya bin Hasan
4. di Iraq
a.
Waqi’ bin Jannah
b.
Hamad bin Usamah
c.
Isma’il bin Ulyah
d.
Abd. al-Wahab bin Abd. al-Majid
e.
Muhammad bin Hasan
f.
Qadi bin Yusuf.[17]
Guru-guru tersebut di atas adalah dari berbagai
aliran. Misalnya Sufyan bin Uyainah di Mekkah dan Imam Malik bin Anas adalah
golongan ahli hadis, di Irak Ia berguru pada golongan dari ahli ra’yi, aliran
Imam Hanafi dan di Yaman golongan fiqh aliran mazhab al-Auza’i. Karena
bermacam-macam aliran itulah, maka Imam Syafi’i terkenal sebagai imam yang
sangat hati-hati dalam menentukan hukum serta ia terkenal sebagai ahli qiyas.
Abdul Karim Zaidan menyatakan:
Imam
al-Syafi’i melakukan kajian tentang mazhab-mazhab terkenal pada masanya dengan
kajian verifikasi, kritis dan membuat perbandingan. Ia pada masa mudanya
mengkaji fiqh ahli Mekkah dari Muslim bin Khalid dan lainnya, kemudian
mendalaminya kepada Malik bin Anas dan ahli fiqh Madinah hingga ia
diperhitungkan termasuk murid Imam Malik dan pengikut madrasah Madinah dan
masyhur dengan pensifatan ini hingga ia datang ke Bagdad pertama kali dan
mengkaji fiqh Abu Hanifah dan mazhab dari jalur Muhammad bin al-Hasan. Dan
karenanya, ia menyimpulkan fiqh Hijaz dan fiqh Irak. Maka ketika pulang ke
Mekkah ia mengkaji dengan mendalam dan merenungkannya. Dari sini kelihatan
kepribadian Imam al-Syafi’i dengan fiqh yang baru yaitu sintesis dari fiqh ahli
Iraq
dan ahli Hijaz dan mulai membedah dengan mazhab khusus.[18]
Adapun murid-murid Imam
al-Syafi’i tersebar di berbagai negeri, di Mekkah ada Abu Bakar al-Humaidi,
Ibrahim bin Muhammad al-‘Abbas, Abu Bakar Muhammad bin Idris, Musa bin Abi
al-Jarud, kemudian di Bagdad, diantara muridnya adalah Hasan al-Sa’bah
al-Za’farani, al-Husain bin Ali al-Karabisiy, Abu Tur al-Kulbiy dan Ahmad bin
Muhammad. Sedangkan di Mesir di antara muridnya adalah al-Buwaiti, Ismail,
Muzanni, Muhammad bin ‘Abdullah bin Abd. al-Hakam dan al-Rabi’ bin Sulaiman.[19]
Adapun ulama-ulama masyhur yang banyak meriwayatkan hadis-hadisnya diantaranya:
1)
Ahmad bin Khalid al-Khallal yaitu Abu Bakar Ja’far
al-Bagdadiy. Hadis-hadisnya banyak meriwayatkan al-Nasa’i dan al-Turmuzi.
2)
Ahmad bin Sinan bin As’ad bin Hibban al-Qatatan,
hadisnya banyak diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Nasa’i, Ibnu
Majah dan Ibnu Khuzaimah.
3)
Ahmad bin Salih al-Misri, laqabnya Abu Ja’far
al–Tabari, al-Hafiz, hadis-hadisnya diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Abu Daud.
4)
Ahmad bin Hambal, penyusun kitab Musnad Ahmad bin
Hambal dan pendiri mazhab Hambali.
5)
Ibrahim bin Khalid bin al-Yaman abu Sur al-Kalbiy
al-Bagdadiy. Hadisnya banyak diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah
dan Abu Qasim al-Bagawiy.
6)
Isma’il bin Yahya bin Isma’il dengan laqab al-A’immah
al-Jalil Abu Ibrahim al-Muzanniy, ‘ulama’ besar yang banyak menyusun naskah dan
fatwa Imām al-Syāfi’i dan juga mneyusun hadis beserta sanadnya.
7)
Bahr bin Nasr ibnu Sabiq al-Khuzaimiy yang memperdalam
masalah ikhtilaf hadis dari Imām al-Syāfi’i.
8)
Al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradiy. Ia adalah murid
utama Imām al-Syāfi’i di Mesir yang
meriwayatkan kitab-kitabnya termasuk menyusun musnad al-Syafi’i, hadisnya
banyak diriwayatkan oleh Abu Daud, al-Nasa’iy, Ibnu Majah, dan Abu Zur’ah.
9)
Harmalah bin Yahya bin ‘Abdullah, hadisnya banyak
diriwayatkan oleh al-Nasa’i dan Ibnu
Majah.[20]
4. Karya Ilmiahnya
Sebagai
seorang ilmuwan yang multi disipliner, Imam al-Syafi’i memiliki karya ilmiah
yang sangat banyak. Menurut riwayat Imam Abu Muhammad al-Hasan bin Muhammad
al-Marwaziy – seperti yang dikutip al-Nawawi – bahwa karya ilmiah Imam
al-Syafi’i mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqh, kesusastraan ‘arab dan
lainnya.[21]
Metode Imam al-Syafi’i dalam mengarang buku itu ada yang langsung ditulis oleh
ia sendiri ataupun dengan cara mendiktekan kepada murid-muridnya.
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang kapan Imam
al-Syafi’i mulai menulis pendapat-pendapat dan pemikiran-pemikirannya. Apakah
ketika ia berada di Mekkah atau ketika berada di Bagdad.
Menurut riwayat yang masyhur ia mulai menulis karyanya ketika di Mekkah sebelum
datang ke Iraq
untuk yang kedua kalinya. Karya-karyanya terkenal dengan materi yang luas dan
analisa yang dalam khususnya al-Risalah dan al-Umm. Kitab-kitab karya itu
antara lain:
1. Kitab
al-Risalah
Al-Risalah,
suatu kitab yang khusus membahas tentang usul fiqh dan merupakan buku pertama
yang ditulis ‘ulama’ dalam bidang usul fiqh. Kitab ini disusun dua kali,
Pertama ketika Imam al-Syafi’i ada di Baghdad
yang kemudian dikenal dengan al-Risalah al-Qodimah, yang kedua ketika ia
berada di Mesir dikenal dengan al-Risalah al-Jadidah. Namun yang sampai
kepada kita sekarang adalah risalah yang kedua.[22]
Imām
al-Syāfi’i tidak memberikan nama kitab tersebut dengan al-Risalah., ia
hanya menyebutnya dengan al-Kitab (kitab ini), kitabiy (kitabku)
dan kitabuna (kitab kami). Kitab ini dinamai al-Risalah karena
kitab ini dikirimkan oleh Imām al-Syāfi’i
dari Baghdad
kepada Abd. al-Rahman bin Mahdi yang berada di Mekkah.[23]
Kitab al-Risalah
al-Qadimah ditulis oleh Imām al-Syāfi’i di Mekkah dan baru disempurnakan
ketika di Baghdad
kemudian dikirimkan oleh Ibnu al-Mahdi.[24]
Dan ketika ia berada di Mesir,
ia menyusun lagi kitab al-Risalah
ini dengan hafalan atas dasar al-Risalah al-Qodimah yang merupakan
al-Risalah yang ada sampai sekarang. Oleh karenanya disebut al-Risalah
al-Jadidah (kitab risalah yang baru).[25]
2. Kitab al-Hujjah
Kitab al-Hujjah
termasuk dalam qoul qodim dalam bidang fiqh dan furu’, karena
disusun oleh Imām al-Syāfi’i ketika di Bagdad.
Isi kitab ini secara umum ditujukan untuk menanggapi pendapat yang dikemukakan
oleh ulama Iraq
khususnya pendapat Muhammad bin al-Hasan.[26]
Dalam kitab kasyf al-Zunun dikatakan bahwa al-Hujjah
karya Imam al-Syafi’i merupakan kitab yang besar disusun ketika ia berada di Iraq. Jika
dikatakan pendapat yang lama dari mazhabnya maka maksudnya adalah karya ini.
3. Kitab al-Mabsut
Al-Mabsut adalah
kitab fiqh karya Imām al-Syāfi’i yang diriwayatkan oleh al-Rabi’ bin Sulaiman
dan al-Za`faraniy.[27]
Namun, Para ‘ulama’ berbeda pendapat tentang
apakah al-Mabsut ini merupakan kitab al-Hujjah yang diriwayatkan
oleh al-Za`faraniy dari Imam al-Syafi`i di Baghdad ataukah merupakan kitab
al-Umm yang diriwayatkan al-Rabi’ dari Imam al-Syafi`i di Mesir atau
merupakan kitab lain yang berbeda dari keduanya. Menurut pendapat Imam al-Sayid
bin Muhammad bin al-Sayid Ja’far al-Kattaniy bahwa kitab al-Mabsuth
bukan kitab al-Hujjah ataupun al-Umm akan tetapi kitab tersendiri
dari Imām al-Syāfi’i.[28]
4. Kitab al-Musnad
Kitab musnad al-Syafi`i
merupakan kitab yang berisi riwayat hadis-hadis al-Syafi`i, sistem penyusunan
dan pembahasan kitab ini adalah menurut sistematika kitab-kitab fiqh yakni
secara berurutan, diawali dengan masalah ‘ibadah, kemudian munakahah, kemudian
masalah jihad, kemudian masalah qada’ dan jinayah. Di sana terdapat beberapa hadis yang diselipkan
di antara masalah tersebut. Terdiri dari 66 bab dengan istilah “kitab”. Kitab
ini jika dibandingkan dengan musnad Ahmad bin Hambal, jumlah hadisnya lebih
sedikit, tetapi jika dibandingkan dengan musnad al-Hanafi maka hadisnya lebih
banyak. Kitab ini termasuk kitab yang diperhatikan ‘ulama’ hadis pada abad
kedua Hijriah dan merupakan kitab hadis pertama yang sampai kepada kita yang
menggunakan “mi’yar” ilmu hadis.[29]
5. Kitab al-Umm
Kitab al-Umm
merupakan kitab yang berisi masalah-masalah fiqih yang dibahas berdasarkan
pokok-pokok pikiran Imām al-Syāfi’i yang terdapat dalam kitab al-Risalah.
Kitab al-Umm ini diriwayatkan oleh al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradiy.
Kitab ini terdiri dari 7 jilid dan telah dimasukkan di dalamnya beberapa
karangan Imam Syafi’i yang lain yaitu:
a.
Kitab Jami’ al-‘Ilm berisi pembelaan Imām
al-Syāfi’i terhadap sunnah Nabi Muhammad s.a.w. Dan kitab Ibhal al-Istihsan
berisi bantahan ia terhadap penggunaan istihsan sebagai dasar hujjah.
b.
Kitab al-Radd ‘ala Muhammad bin Hasan, yang
berisi bantahan ia terhadap pendapat Muhammad bin Hasan tentang pendapat
‘ulama’ Madinah sebagai dasar hukum.
c.
Kitab Siyar al-Auza’i, yang berisi pembelaan
ia terhadap pembahasan Imam Auza’i.[30]
B. Metode Istidlal
dan Pola Pemikiran Imām al-Syāfi’i dalam Menetapkan Hukum Islam
Dalam mengistinbathkan (mengambil dan menetapkan)
suatu hukum, Imām al-Syāfi’i dalam
bukunya al-Risalah menjelaskan. Bahwa ia memakai lima dasar: al-Qur'an, Sunnah, Ijma’, Qiyas
dan Istidlal. Kelima dasar ini yang kemudian dikenal sebagai dasar-dasar mazhab
Syafi’i. Dasar pertama dan utama dalam menetapkan hukum adalah al-Qur’an, kalau
suatu masalah tidak menghendaki makna lafzi barulah ia mengambil makna majazi
(kiasan), kalau dalam al-Qur'an tidak ditemukan hukumnya, ia beralih pada
Sunnah Nabi s.a.w. Sunnah yang dipakai adalah Sunnah yang nilai kuantitasnya mutawatir
(perawinya banyak) maupun ahad (perawinya satu orang), Sunnah yang nilai
kualitasnya sahih maupun hasan, bahkan sunnah da`if.
Adapun syarat-syarat untuk semua sunnah da`if adalah:
tidak terlalu lemah, dibenarkan oleh kaidah umum atau dasar kulli (umum)
dari nas, tidak bertentangan dengan dalil yang kuat atau sahih dan hadis
tersebut bukan untuk menetapkan halal dan haram atau masalah keimanan,
melainkan sekedar untuk keutamaan amal (fada’il al-‘amal) atau untuk
himbauan (targib) dan anjuran (tarhib).[31]
Dalam pandangan Imām al-Syāfi’i hadis mempunyai
kedudukan yang begitu tinggi bahkan disebut-sebut salah seorang yang
meletakkan hadis setingkat dengan
al-Qur'an dalam kedudukannya sebagai sumber hukum Islam yang harus diamalkan.
Karena, menurutnya, hadis itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan al-Qur'an. Bahkan menurutnya, setiap
hukum yang ditetapkan Rasulullah s.a.w. pada hakikatnya merupakan hasil
pemahaman yang ia peroleh dari memahami al-Qur'an.[32]
Satu hal yang perlu diketahui bahwa Imām al-Syāfi’i
tidak bersikap fanatik terhadap pendapat-pendapatnya, hal ini nampak pada suatu
ketika ia pernah berkata: “Demi Allah aku tidak peduli apakah kebenaran itu
nampak melalui lidahku atau melalui lidah orang lain.”[33]
Adapun penjelasan dari masing-masing sumber hukum
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Sebagaimana imam-imam lainya Imām al-Syāfi’i
menempatkan al-Qur’an pada urutan pertama, karena tidak ada sesuatu kekuatan
pun yang dapat menolak keontetikan al-Qur’an. Sekalipun sebagian hukumnya harus
diakui masih ada yang bersifat zanni, sehingga dalam penafsirannya
terdapat perbedaan pendapat.
Dalam pemahaman Imām al-Syāfi’i atas al-Qur’an, ia
memperkenalkan konsep al-bayan. Melalui konsep al-bayan ini, ia
kemudian mengklafikasikan dilalah nas atas ‘amm dan khas.
Sehingga ada dilalah `amm dengan maksud `amm, ada pula dilalah ‘amm
dengan dua maksud ‘amm dan khas, dan ada pula dilalah ‘amm
dengan maksud khas.
Klasifikasi lain adalah dilalah tertentu yang maknanya
ditentukan oleh konteksnya, ada juga dilalah yang redaksinya menunjuk arti
implisit bukan eksplisit, bahkan ada pernyataan ‘amm yang secara
spesifik ditunjukkan oleh sunnah bahwa maksudnya khusus.[34]
2. Al-Sunnah
Menurut Imam al-Syafi`i yang dimaksud adalah al-Hadis.[35]
Al-Sunnah selain sebagai sumber yang kedua setelah al-Qur’an juga sebagai
pelengkap yang menginterpretasikan isi kandungan al-Qur’an, sehingga kedudukan
al-Sunnah atas al-Qur’an sebagai berikut:
- Ta`kid, menguatkan dan mengokohkan al-Qur’an.
- Tabyin, menjelaskan maksud nas al-Qur’an.
- Tasbit, menetapkan hukum yang tidak ada ketentuan nasnya dalam al-Qur’an.[36]
- Dilalah-dilalah al-Sunnah meskipun hukumnya berdiri sendiri tidak ada yang bertentangan dengan dilalah nas al-Qur’an, karena al-Sunnah selain bersumber pada wahyu juga ada faktor lain yang menyebabkan keontetikkan al-Sunnah yaitu terpeliharanya Nabi dari dosa dan kekeliruan sejak kecil.
Dalam implementasinya, Imām
al-Syāfi’i memakai metode, apabila di dalam al-Qur’an tidak ditemukan dalil
yang dicari maka menggunakan hadis mutawatir. Namun jika tidak ditemukan dalam
hadis mutawatir baru ia menggunakan hadis ahad. Meskipun begitu, ia tidak
menempatkan hadis ahad sejajar dengan al-Qur’an dan juga hadis mutawatir.
Imām al-Syāfi’i menerima
hadis ahad mensyaratkan harus memenuhi beberapa hal sebagai berikut:
a.
Perawi dapat dipercaya keagamaannya dan juga tidak
menerima hadis dari orang yang tidak dipercaya.
b.
Perawinya dabit.
c.
Perawinya berakal dalam artinya bisa memahami apa yang
diriwayatkan.
d.
Hadis yang diriwayatkan tidak menyalahi ahli hadis yang
juga meriwayatkan.
Dalam masalah hadis mursal
Imām al-Syāfi’i menetapkan dua syarat:
a.
Mursal yang disampaikan oleh tabi`in yang berjumpa
dengan sahabat.
b.
Ada
petunjuk yang menguatkan sanad mursal itu.[37]
Adapun dalam menanggapi
pertentangan al-Sunnah dengan al-Sunnah Imam
al-Syafi’i membagi kepada dua bagian:
a.
Ikhtilaf yang dapat diketahui nasikh-mansukhnya,
maka diamalkanlah yang nasikh.
b.
Ikhtilaf yang tidak dikeahui nasikh-mansukhnya.
Dalam ikhtilaf yang
terakhir di atas, Imam al-Syafi’i membaginya dalam dua kategori:
a.
Ikhtilaf yang dapat dipertemukan.
b.
Ikhtilaf yang tidak dapat dipertemukan.
Adapun jika terjadi suatu
pertentangan yang tidak dapat dipertemukan, dalam hal ini, ia menempuh cara
berikut ini:
a.
Menentukan mana yang lebih dulu dan mana yang baru
kemudian, dan yang terdahulu dianggap mansukh,
sehingga harus dapat diketahui asbab al-wurudnya.
b.
Jika tidak diketemukan maka harus dipilih salah satu
yang terkuat berdasarkan sanad-sanadnya.[38]
3. Ijma’
Ijma’
menurut Imām al-Syāfi’i adalah kesepakatan para ‘ulama’ diseluruh dunia Islam,
bukan hanya disuatu negeri tertentu dan bukan pula ijma` kaum tertentu saja.
Namun Imam al-Syafi`i tetap berpedoman bahwa ijma` sahabat adalah ijma’ yang
paling kuat.
Imām
al-Syāfi’i mendefinisikan ijma’ sebagai konsensus ulama dimasa tertentu atas
suatu perkara berdasarkan riwayat Rasul. Karena menurutnya mereka tidak mungkin
sepakat dalam perkara yang bertentangan dengan al-Sunnah.[39]
Imām
al-Syāfi’i membagi ijma’ menjadi dua yaitu ijma’ sarih dan ijma’
sukuti. Namum yang paling diterima olehnya adalah ijma’ sarih
sebagai dalil hukum. Hal ini menurutnya, dikarenakan kesepakatan itu
disandarkan kepada nas, dan berasal dari secara tegas dan jelas sehingga tidak
mengandung keraguan. Sedangkan ijma’ sukuti ditolaknya karena tidak
merupakan kesepakatan semua mujtahid. Dan diamnya mujtahid menurutnya, belum
tentu mengindikasikan persetujuannya.
Melihat
kondisi kehidupan para ulama dimasanya yang telah terjadi ikhtilaf dikalangan
mereka, maka menurutnya, ijma` hanya terjadi dalam pokok-pokok fardu dan yang
telah mempunyai dasar atau sumber hukum.[40]
4. Qiyas
Muhammad
Abu Zahrah menjelaskan bahwa ulama yang pertama kali mengkaji qiyas (merumuskan
kaidah-kaidah dan dasar-dasarnya) adalah Imām al-Syāfi’i.[41]
Dengan demikian Imām al-Syāfi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah ke empat
setelah al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ dalam menetapkan hukum Islam.[42]
Ia menempatkan qiyas setelah ijma`, karena ijma’ merupakan ijtihad kolektif
sedangkan qiyas merupakan ijtihad individual.
Syarat-syarat
qiyas yang dapat diamalkan menurut Imām al-Syāfi’i adalah sebagai berikut:
a.
Orang itu harus mengetahui dan mengusai bahasa arab.
b.
Mengetahui hukum al-Qur’an, faraid, uslub,
nasikh-mansukh, ‘amm-khas, dan petunjuk dilalah nas.
c.
Mengetahui Sunnah, qaul sahabat, ijma` dan ikhtilaf
dikalangan ulama.
d.
Mempunyai pikiran sehat dan prediksi bagus,
sehingga mampu membedakan masalah-masalah yang mirip hukumnya.[43]
5. Istidlal
Bila
Imām al-Syāfi’i tidak mendapatkan keputusan hukum dari ijma` dan tidak ada
jalan dari qiyas, maka barulah ia mengambil dengan jalan istidlal, mencari
alasan, bersandarkan atas kaidah-kaidah agama, meski itu dari ahli kitab yang
terakhir yang disebut “syar`u man qablana” dan tidak sekali-kali
mempergunakan pendapat atau buah pikiran manusia, juga ia tidak mau mengambil
hukum dengan cara istihsan, seperti yang biasa dikerjakan oleh ulama dari
pengikut Imam Abu Hanifah di Bagdad dan lain-lainnya.[44]
C. Pendapat Imām al-Syāfi’i Tentang Masturbasi/ Onani/ Istimna’
Mengenai hukum
masturbasi/ onani atau yang dikenal syari’at dengan istimna’, ulama sudah
banyak yang memperbincangkannya. Salah satunya Imām al-Syāfi’i. Beliau
menyatakan haramnya onani atau istimna’. Dasarnya adalah firman Allah swt. :
والذين هم لفروجهم
حفظون (5) الا على ازواجهم اوماملكت ايمانهم فانهم غيرملومين (6)[45]
Argumen beliau,
“Karena perbuatan itu (onani) tidak termasuk dari dua hal yang disebutkan dalam
ayat di atas.” Dua hal yang dimaksudkan beliau adalah berjima’ dengan isteri
dan budak.
Firman Allah swt. di
ayat selanjutnya semakin menguatkan hal tersebut.
Di antara sifat mulia dari orang-orang yang beriman
disebutkan dalam surat
al-Mukminun ayat lima
sampai tujuh. Mereka memelihara kemaluannya. Tak mengumbarnya sembarangan atau
disalurkan pada jalur menyimpang. Bahkan mereka menyalurkan kebutuhan
biologisnya hanya kepada isteri pendamping mereka. Atau kalau tidak kepada
budak-budak wanita yang mereka punya. Dua tempat inilah pilihan aman yang
diperbolehkan. Sedangkan onani? Tak tercantum dalam ayat ini. Karena itu ia
termasuk kategori firman Allah swt. dalam surat
al-Mukminun ayat tujuh, yaitu mencari di balik hubungan resmi. Orang yang seperti
ini termasuk orang yang melampaui batas.
Makanya Imām al-Syāfi’i mengatakan, “Maka tidak
dibolehkan melakukan jima’ kecuali dengan para isteri dan budak-budak yang
dimiliki. Juga tidak dibolehkan melakukan istimna’(onani).[47]
[1]
Abd. al-Rahim al-Asnawi Ijmal al-Din, Tabaqat al-Syafi’iyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987),
hlm. 18.
[2]
M. Abu Zahrah, al-Syafi'i Hayatuhu wa Asruhu Ara’uhu wa Fiqhuh, cet.
ke-2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1948), hlm. 16-17.
[3]
Ibid., hlm. 17. akan tetapi Munawwar
Cholil cenderung pada riwayat yang mengatakan bahwa ibunya berasal dari
keturunan ‘Alawiyyah. Lihat Munawwar Cholil, Biografi Empat Serangkai Imam
Mazhab, cet. ke-9, (Jakarta: Bulan Bintang, 1955), hlm. 200.
[5]
A. Nahrawi A.S. al-Imām al-Syāfi’i fi Mazahibihi al-Qadim wa al-Jadid,
diterbitkan oleh pengarangnya untuk kalangan terbatas, 1994, hlm. 29. Dan Ali
Yafie. Menggagas Fiqih Sosial,
(Bandung: Mizan, 1995), hlm. 40.
[6]
Abd. al-Ganiy al-Daqir, al-Imām al-Syāfi’i Faqih al-Sunnah al-Akbar,
(Dimsyik: Dar al-Qalam, 1990), hlm. 54.
[7]
M. Abu Zahrah, al-Syafi’i…, hlm. 28.
[8]
Khudari Beik, Tarikh al-Tasyri al-Islamiy, (Indonesia: Dar Ihya wa
al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1981), hlm. 251.
[9]
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, cet. ke-2 (Jakarta:
PT. Lentera Basritama, 2001), hlm. xxix.
[10]
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, cet ke-3 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru,
Van Hoeve, 1994), IV: 328.
[11]
Ibid., hlm.328. Lihat pula M. Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib, hlm.
449, dan Khudari Beik¸ Tarikh Tasyri’ al-Islamiy, hlm. 253.
[12]
Tim Penyusun, Ensiklopedi…, IV: 329.
[13]
Ibid. , hlm. 328. Lihat pula
Khudari Beik, Tarikh at-Tasyri al-Islamiy, hlm. 253-254.
[14]
Tim Penyusun, Mengenal Istilah dan Rumus Fuqaha, (Kediri: MHM, 1997),
hlm. 112-113.
hlm. 112-113.
[15]
Sebenarnya kepergian Imām al-Syāfi’i ke
Mesir atas permintaan wali negeri Mesir, ‘Abbas bin Musa untuk memberikan
pengajaran di Masjid ‘Amr bin As. Hal ini buat al-Syafi’i dirasa cukup berat,
karena harus meninggalkan banyak murid di Baghdad.
Dan pengajaran di Mesir dilakukan siang hari di Masjid dan malam hari dilakukan di rumahnya. Lihat
Ensiklopedi Islam, Tim Penyusun, cet. ke-3
(Jakarta: PT. Ichtiar baru, Van Houve, 1994), IV: 328.
[16]
Tim Penyusun, Mengenal Istilah dan Rumus Fuqoha, hlm. 113.
[17]
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1994), hlm.
18.
[18]
Abd. al-sKarim Zaidan, al-Madkhal li Dirasah al-Syari`ah al-Islamiyyah,
(Beirut: Muassasah Risalah, 1989), hlm. 140-141.
[19]
A. Al-Syurbasi, al-Aimmah al-Arba`ah, alih bahasa Jalil Huda dan A.
Ahmadi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1993), hlm.151-152.
[20]
Taj al-Din al-Subkiy, Thabaqoh al-Syafi’iyyah al-Kurba, (Mesir:
al-Hasyimiyyah, t.t.), hlm. 186-276.
[21]
Abi Zakariya Muhyidin al-Nawawi, Tahzib al-Asma’ wa al-Lugat, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, t.t.), hlm. 53.
[22]
A. Nahrawi A. S. Al-Imām al-Syāfi’i fi Mazahibih al-Qadim wa al-Jadid,
diterbitkan oleh pengarangnya untuk kalangan terbatas, 1994, hlm. 716.
[23]
Al-Syafi`i, al-Risalah, ditahqiq oleh
A. M. Syakir, (Mesir: Mustafa Babiy al-Halabiy, 1940), hlm.12.
[24]
Abu Zahrah, al-Imām al-Syāfi’i
Hayatuhu wa Asruhu Ara’uhu wa fiqhuhu, (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabiyy,
t.t. ), hlm. 27.
[25]
Al-Syafi`i, al-Risalah, hlm.11.
[26]
A. Nahrawi A. S., al-Imam…, hlm. 712.
[27]
Ibid., hlm. 713.
[28]
Ibid., hlm. 714.
[29]
A. Nahrawi A. S., Al-Imam…, hlm. 210.
[30]
Muslim Ibrahim dan Zufran Sabrie, Pengantar fiqh Muqaran, (ttp.: Erlangga,
1989), hlm. 99.
[31]
Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Risalah, (Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.). hlm. 508.
[32]
Ibid., hlm. 508.
[33]
Yusuf al-Qardawi, Fiqh Perbedaan Pendapat antar Gerakan Islam, cet. ke-4
(Jakarta:
Rabbani Press, 2002), hlm. 190.
[34]
M. Idris al-Syafi`i, al-Risalah, (Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.) hlm.21-23.
[35]
Ibid., hlm. 180.
[36]
Ibid, hlm. 190.
[37]
Huzaimah T.Y., Pengantar Perbandigan Mazhab, (Jakarta: logos Wacana
Ilmu,1999), hlm. 130.
[38]
Ibid., hlm. 130.
[39]
Muhammad bin Idris al-Syafi`i, al-Risalah, hlm.472.
[40]
T.M. Hasbi al-Shidieqy, Pokok-Pokok
Pegangan Imam Mazhab, (Semarang:
PT. Pustaka Rizqi Putra), hlm. 28.
[41]
Abu Zahrah, al-Syafi`i Hayatuhu wa
Asruhu wa Ara’uhu wa Fiqhuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1418 H. / 1997),
hlm.298.
[42]
Huzaimah T.Y., Pengantar…, hlm. 130.
[43]
M. Idris al-Syafi`i, Risalah, hlm.510-511.
[44]
Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1995), hlm. 245.
[45]
Q.S. al-Mu’minun (23): 5 - 6.
[46]
Q.S. al-Mu’minun (23): 7.
[47]
Majalah Remaja Islami "el-Fata", Jika Seks………., Edisi 11/ III/
2003, hlm. 18.
No comments:
Post a Comment